Analisis Puisi
Analisis Puisi
Penulis: Bambang Pracoyo
HKYtasik.org – Masih teringat dengan jelas di kepala saya, kejadian tahun 1998. Di saat negara ini mengalami resesi hebat akibat menurunnya nilai tukar rupiah. Inflasi sangat tinggi dan harga harga melambung tak terkendali. Kebanyakan mahasiswa dengan uang saku paspasan (seperti saya), tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan kuliahnya. Harus perubahan, harus ada protes, unjuk rasa atau apapun namanya di negara ini. Menggelar aksi demo akhirnya menjadi kebiasaan baru yang dilakukan di setiap kampus.
Pada salah satu aksi demo di halaman FMIPA, ada sesuatu yang berbeda. Seorang orator dari FBS membacakan puisi karya Rendra. Selama itu puisi bagi saya adalah sesuatu yang kurang menarik, terkesan aneh dan dlebih lebihkan. Namun dalam pembacaan puisi ini, saya merasakan kekuatan profokasi yang luar biasa. Mungkin karena gaya dan pembacaannya dimirip-miripkan dengan Si burung Merak itu. Apapun itu, hal ini memaksa saya untuk mencari dan membaca berulang-ulang puisi ini. Beginilah puisinya...
Orang Orang Miskin
(W.S. Rendra) Yogya, 4 Pebruari 1978
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim *
Saat dibacakan judulnya yaitu “Orang-orang miskin” sama sekali belum ada ketertarikan menyimaknya. Namun begitu bait pertama dibacakan, seketika langsung merubah dan memaksa saya untuk memperhatikannya. Ada kata “miskin, selokan, kalah, diledek, ditinggalkan” yang ditonjolkan dalam bait ini.
Orang miskin, untuk mencari makan sering ditempat-tempat sampah dan sisa makanan orang. Hal ini disimbolkan atau diganti dengan kata "selokan", dan banyak orang menganggap rendah bahkan mengejek orang miskin (diledek) dan setelah itu ditinggalkan tanpa memberi sedikit bantuan untuk meringankan beban kesengsaraannya.
Pada bait kedua ada kata-kata yang ditojolkan adalah “bau, melekat, dan bunting”. Kata-kata tersebut sungguh kasar, menyatakan keadaan yang tidak enak untuk dirasakan orang yang berkondisi normal. Kondisi orang miskin di bait ini dejelaskan dengan berbaju yang kotor, keadaan badan yang tidak bersih, dan wanita-wanita yang sedang mengandung yang berada di pinggir-pinggir jalan. Secara psikologi, orang akan lebih merasa kasihan melihat pengemis wanita dibandingkan dengan pengemis pria. Dan kondisi ini menyebar hampir di seluruh wilayah perkotaan.
Pada bait ketiga kata-kata yang ditonjokan adalah; “dosa, gelap, rumput dan lumut, abaikan”. Kata-kata tersebut meberikat gambaran kepada kita bahwa dosa, adalah bagian dari orang miskin. Dan orang miskin adalah tumbuhan yang tidak berguna yang ada di jalan-jalan.
Di bait ini ada kata-kata profokatif dan kritik pada pemerintahan yaitu pernyataan “Tak bisa kamu abaikan”. Frase ini begitu kuat bagi saya setelah turut merasakan kondisi saat ini.
Bait keempat lebih memberikan keterangan atau semacam kutukan untuk kata-kata sebelumnya.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka
Pada bait ini memberikan peringatan kepada kita. Jika kita menelantarkan mereka, maka hidup kita tidak tentram. Pembaca, (masyarakat) akan mengalami ketidaktenagan jiwa. Bahkan hubungan denga keluarga (anak) akan tidak harmonis).
Bait kelima apa yang hendak di sampaikan semakin bertambah luas dan berani hingga menyangkut lambang Negara yang selama ini sangat disakralkan. Dan yang paling kuat di bait ini adalah kata mahasiswa, yang memberi semangat untuk semakin melawan.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Dalam bait keenam pengarang berusaha mengajak kita untuk menghayal dalam mimpi.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu
Dikatakan bahwa bila kita tetap menelantarkan mereka, maka keadaan itu akan masuk ke dalam alam mimpi kita. Kita tidak ingin, anak kita disuapi oleh wanita-wanita dari jalanan, kita tidak ingin jendela rumah dipegang tangan-tangan kotor.
Pada bait ketujuh lebih luas lagi pengarang mengarahkan fenomena yang tejadi pada waktu itu. Dalam kalimat pertama, mempunya maksud bahwa jumlah mereka banyak. Jadi analoginya yaitu banyaknya kemiskinan tidak bisa di sembunyikan atau di dianggap tidak ada. Ideologi pembaca yang bersifat ideal, oleh pengarang diharapkan dapat berhenti sejenak dalam berpikir idealis .Bait ini menyentuh insan agama yang mempelajari agama namun tidak merefelksinya dimasyarakat. Aparat pemerintahpun disudutkan denga fakta kondisi orang miskin yang hidup dengan segala macam penyakit karena ketidakmampuan mereka dalam menjaga kesehatan. Golongan senimanpun sebenarnya oleh pengarang dihadapkan dengan fakta di lapangan bahwa mereka juga tidak terlalu memperdulikan dengan kondisi sekitar (orang miskin).
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Pada bait terakhir pengarang secara nyata menjelaskan bahwa orang-orang miskin dalam puisi “Orang-orang miskin” telah selama bertahun-tahun. Dianalogikan oleh pengarang seperti udara yang panas dan seperti gerimis. Disini pengarang menjelaskan bahwa orang miskin mempunyai dilema, terus dengan kondisinya, dengan resiko akan mati atau tidak ada perubahan hidup, atau melanjutkan hidup mengan langkah kriminal dengan berbuat jahat kepada kita (orang lain yang lebih berada daripada mereka). Di akhir bait ada himbauan untuk kita bahwa mereka juga berasal dari keturuan yang sama dengan kita. Berasal dari umat Nabi Ibrahim juga. Sebagaimana kondisi masyarakat Indonesia kebanyakan beragama Islam atau Kristen yang mengakui Ibrahim atau Abraham sebagai Bapanya.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Kata-kata yang ditonjolkan oleh pengarang adalah sejarah, panas, gerimis, pisau, dada, dan Ibrahim. Kata sejarah mempunyai makna bahwa kejadian itu sudah berlangsung lama. Panas dan gerimis adalah analogi keadaan yang selalu ada dan silih berganti setiap waktu. Pisau-pisau merupakan tuntutan atau pilihan yang sangat sulit untuk mereka orang miskin, mereka merasa dilematis, mereka lebih memilih hidup sebagai orang miskin selamanya atau memaksa diri lepas dari kondisi kemiskinan dengan cara mengintimidasi orang lain.
Sebagai umat katolik, kita bisa memaknai bahwa kemiskinan merupakan realitas sosial dalam dinamika kehidupan manusia di dunia. Realitas sosial ini juga merupakan bagian dari perhatian Gereja. Melalui struktur dinamisnya yang meliputi Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium, Gereja memberikan perhatian, kepedulian, dan menyampaikan ajarannya tentang kemiskinan beserta cara-cara penanggulangannya.