Aku sempatkan siang itu untuk mencabuti rumput depan pagar rumah karena di hari Sabtu ini sdang libur. Seperti perumahan pada umumnya, air pembuangan dari rumahku mengalir di depan menuju saluran di samping jalan. Saluran didesain terhubung dari satu rumah dengan rumah lain, untuk kemudian menuju saluran yang lebih besar. Karena selalu basah, membuat tanah di dinding saluran air itu mudah ditumbuhi tanaman liar. Dari rumput teki, krokot, bayam duri, hingga dandelion kampung mudah sekali tumbuh di situ.
Ada hal yang lebih mengerikan jika tanaman liar itu sudah nampak rimbun. Dimana Pak RW terkadang tanpa tedeng aling-aling menegur pemilik rumah untuk segera membersihkannya. Rupanya teguran ini cukup membuat muka pemilik rumah jadi merah padam menahan malu, mengarang alasan-alasan dan berjanji untuk segera membereskannya. Banyak warga yang sudah menjadi korban tegurannya, berharap agar ketua RW segera diganti. Tetapi apa daya, lima bulan yang lalu ia malah terpilih kembali untuk kedua kalinya pada pemilihan ketua RW di Perum kami.
Siang itu cukup terik, saat tahap akhir dari pekerjaan ini akan terselesaikan. Ya, memasukkan sampah tanaman liar itu telah ke dalam karung plastik, kemudian menaruhnya di dekat tong sampah untuk diambil truk pengangkut sampah besok pagi.
“Pak aya padamelan nu tiasa kangge abdi?” kata seseorang sambil memeluk bungkusan kresek.
“Maksudna kumaha?” jawabku heran.
“Pak, abdi nu biasa ngicalan sangu bakar, abdi ayeuna teu tiasa ngicalan, nu ngadamel tos mudik ka jawa” Dia mulai menjelaskan kondisinya, dengan kata-kata yang tidak agak terbata. Sepertinya ada keraguan pada susunan kata-kata itu, sementara wajahnya nampak sedikit pucat.
“O.. benar, saya mengenal suara yang khas itu” batinku. Biasanya suara itu terdengar di pagi hari. “Naasi baakarr…, bu nasi bakar bu !!” begitu ia menawarkan dagangannya. Badannya memang kurus, tapi biasanya ia nampak lincah dan semangat saat berjalan menyusuri jalan di perum ini. Wajahnya juga ramah, ia selalu senyum saat menawarkan dagangannya. Nampak jelas, jika ia optimis dagangannya bakal laku di beli para penghuni perum. Anak saya yang besar menyukai rasa dan aroma nasi bakar itu, sehingga kami beberapa kali membelinya. Namun saat ini bulan puasa, tidak mungkin ia menawarkan nasi bakar di pagi hari. Apalagi menurut pengakuaannya, pembuat nasi bakarnya sudah mudik ke Jawa Timur.
“Upami aya padaamelan kangge abdi pak, ngaberesan jukut, nyuci baju atanapi nyalicin? ungkapnya agak gemetar, namun ia tetap memaksakan untuk tersenyum.
“Persiapan lebaran nya bu?” kusambung pembicaraannya.
“Boro-boro kangge lebaran pak.. kangge sahur sareung buka oge bingung. Teu kapikiran, kumaha acuk lebarana murangkalih” nampak matanya berkaca-kaca.
“Anak sabaraha bu?” tanyaku
“Dua pak.. aralit keneh SD sareng PAUD, caroge kerja sarabutan di Bandung ampir sabulan teu aya kabar” katanya. Sekarang terlihat ada air yang meleleh dari matanya.
Mulutku diam tidak mampu berkata apa-apa. Ada keinginan membantu masalahnya, namun salah satu pekerjaan yang dimintanya sudah selesai ku kerjakan. Untuk menyetrika rasanya tidak mungkin karena aku sendirian di rumah. Bisa timbul fitnah yang tidak-tidak pikirku.
“Pak! nyari padamelan !!” kataku agak keras pada Pak Diyat tetanggaku, yang seorang penjual gas saat ia keluar rumahnya.
“Wah… setrikaan saya dah jadi rebutan dua orang euy, babat babat semak di belakang sepertinya tidak mungkin. Gimana ya?” kata dia.
“Nyuhunkeun solusi pak.. kangge abdi!” pintanya sembari memandang tetanggaku, yang terpaksa ikut bergabung dalam pembicaraan kami.
“Bu… keudah sabar dan syukur… abdi yos ngalaman baheula di Bekasi, pas nuju teu aya duit pisan, nu bisa dijual, dijual heula we… Usaha mah terus ! Insya Allah jalan keluar mah pasti aya. Bumi di mana?” tanya Pak Diyat
“Sukamulya pak” jawabnya sambil dengan seksama mendengarkan kata-kata Pak Diyat.
Sejenak suasana hening, tidak ada percakapan diantara kami bertiga.
“Pak abdi gaduh tangkal Jambu Deli dina pot, kapengkeur caroge meser tujuhpuluhlima rebu, upami diical tiasa?” rupanya dia berfikir dan mendapat sedikit ide.
Kembali terjadi keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri.
“Wios bu.. dipeser ku abdi..!” jawabku membuat keputusan, walaupun sebenarnya juga terpikir, buat apa pohon jambu dalam pot. Sementara Pak Diyat pamit pergi mengantar gas kepada pelanggannya.
“Wah nuhun pak… upami dicandak enjing wios pak?” tanyanya.
“Wios mangga… antosan !!” jawabku sambal masuk rumah untuk mengambil uang.
Saat keluar rumah kembali ibu itu berkata: “Pak acisna mah enjing we..”
“Bu ieu aya uang seratus, duapuluh lima itung-itung kangge ongkir, enjing mah abdi teu aya di bumi, tangkal mah titipkeun ka Pak Diyat. Terus upami suami tos dugi, tangkal bade dipeser deui mangga… nyantai saja!!” jelasku sambal memberikan uang seratus ribuan.
“ Aduh pak haturnuhun pisan…” nampak ia tersenyum dan namun bibirnya sedikit gemetar.
“Sami-sami, mudah-mudahan aya rejeki deui kangge ibu “ jawabku yang kemudian ia aminkan beberapa kali. Lantas ia pergi untuk mencoba nyari pekerjaan ke rumah-rumah di perum ini lagi.
Terbayang dalam pikiranku, betapa galaunya pikiran ibu tadi. Makan adalah kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi. Lapar mampu mengubah yang baik jadi jahat dan yang tenang menjadi kacau. Apalagi tanggungjawabnya mempertahankan kehidupan dua anaknya yang masih kecil-kecil itu. Hmmm… memang kata orang yang membuat galau itu sebenarnya penilaiannya sendiri. Sabar dan syukur yang ditawarkan Pak Diyat memang layak dipertimbangkan. Sabar dan syukur adalah upaya mengembalikan untuk berfikir jernih, mengendorkan tegangan emosi dan menolak depresi. Setiap orang punya kegalauannya sendiri-sendiri. Yang tidak kesulitan memenuhi kebutuhan sandang pangan, galau karena kolesterolnya, gula darahnya atau dengan penyakit lain yang menerpa dirinya. Yang sudah kaya dan sehat ada juga yang cemas dengan harga dirinya, dengan pikiran negatifnya yang curiga dengan orang lain. Ya…sabar dan syukur menawarkan pilihan, untuk tetap galau, cemas dan depresi atau tetap semangat serta ada pengharapan.
Dan hari ini, saat pulang dari gereja, kulihat tangkal jambu dalam pot di depan pagar rumah.
Umbara